Senin, 12 Desember 2011

Smk Rakit Pesawat Jabiru

tags: Ahmad Budiman, Bambang Sudibyo, Jabiru J430, pesawat terbang rakitan, Romi Agasty, SMK Negeri 12 Bandung, SMKN 29 Jakarta, Swayasa
 
 
 

 
jabiru dirakit di indonesiaproud wordpress com


Keinginan Romi Agasty sejak pertengahan tahun ini akhirnya terwujud. Dia bekerja di bengkel perakitan pesawat Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 29 Jakarta untuk merakit Swayasa atau Jabiru J430.
Merakit pesawat Jabiru memang telah menjadi impian Romi sejak dia naik ke kelas XII. Siswa Program Studi Airframe Powerplant di sekolah kejuruan tersebut tekun memeriksa pinggiran pintu putih berukuran hampir 1 meter persegi, lalu menempelkannya di bingkai pesawat Jabiru J430, yang dirakit sejak dua bulan lalu.
“Pintu harus menempel pas di badan pesawat supaya tidak terjadi drag (hambatan angin) dan vibration (getaran),” ujar Romi.
Bersama sembilan rekan lainnya, Romi memperoleh kesempatan langka merakit pesawat ringan eksperimen buatan Australia tersebut sejak didatangkan Agustus lalu. Setiap orang diberi tugas menyelesaikan urusan sesuai dengan kompetensi, seperti masalah jaringan kabel, mesin, hingga rangka pesawat. Romi, misalnya, bertanggung jawab merampungkan pemasangan pintu kiri depan dari empat pintu yang terpasang di badan pesawat selama sepekan ke depan.
Romi dan teman-temannya di SMK 29 Jakarta beruntung bisa merakit pesawat sebagai alat eksperimen siswa. Bambang Sudibyo, Menteri Pendidikan Nasional pada kabinet lalu, memang berjanji akan mendatangkan pesawat eksperimen untuk sejumlah sekolah. Selain sekolah Romi, SMK Negeri 12 Bandung mendapat bantuan pesawat J430.
Pesawat rakitan itu tidaklah murah. Pembelian bagian-bagian pesawat, seperti rangka dan badan, mesin, hingga suku cadang, membutuhkan biaya Rp 700 miliar. Selain itu, biaya ekspedisi dan pajak untuk setiap komponen mencapai Rp 300 miliar. Meski digunakan untuk kegiatan belajar, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih menganggap pesawat ini sebagai barang mewah yang harus dikenai pajak.
Tepat pada Agustus, seluruh komponen pesawat sampai di sekolah dan siap dirakit siswa. Sekolah menamakan pesawat ini Swayasa, yang berarti karya rakitan sendiri.
Menurut guru pembimbing perakitan pesawat, Ahmad Budiman, siswa SMK penerbangan dilatih merawat dan memperbaiki pesawat. Dalam prakteknya, siswa juga dimungkinkan merakit pesawat.
Tak kurang dari tiga pesawat pernah dirakit di bengkel sekolah yang terletak di Jalan Wolter Monginsidi ini. Namun pesawat-pesawat rakitan tersebut hanya bisa dikendarai di darat alias tak bisa terbang. “Baru sekarang kami mendapatkan pesawat yang belum jadi agar bisa dirakit,” katanya saat ditemui di bengkel SMK Negeri 29 Jakarta.
Pesawat rakitan itu sebenarnya bisa selesai dalam tiga bulan, tapi sekolah ingin sebanyak mungkin siswa ikut terlibat dalam pengerjaan Swayasa. Targetnya, 80 persen siswa bekerja dalam proyek tersebut.
Para siswa dibagi dalam beberapa kelompok, yang beranggotakan 20 orang. Selama sepekan tiap kelompok itu mendapat jatah bekerja di bengkel dalam dua shift, pagi dan siang. “Pembagian ini diharapkan membantu proses belajar setiap siswa,” kata Ahmad. “Tapi efek sampingnya, waktu perakitan mundur menjadi empat bulan.”
Tahap pertama pengerjaan Swayasa dilakukan sepanjang September, dengan target menyelesaikan pemasangan bagian-bagian utama pesawat, seperti roda pendarat dan pemasangan mesin. Para siswa juga mempersiapkan dua bagian utama pada pesawat, yaitu badan dan sayap pesawat yang terbuat dari serat komposit ringan serta kuat.
Meski semua bagian pesawat telah tersedia, tak berarti pekerjaan Romi dan kawan-kawan lancar. Serat komposit kiriman pabrik yang terpisah menjadi bagian-bagian kecil harus disambung dengan perekat khusus yang tak dijual di Indonesia.
Namun impor resin sebagai perekat harus dilakukan bertahap akibat batasan yang diterapkan perusahaan ekspedisi, sehingga penyambungan badan pesawat sering tertunda. Jika stok benar-benar habis, sekolah harus meminjam resin ini dari peminat olahraga dirgantara lokal.
Romi dan teman-temannya juga harus mengatasi ketidaksempurnaan komponen pesawat. Permukaan serat komposit kiriman pabrik sering kali masih kasar sehingga mengganggu aerodinamika pesawat. Sebagai contoh, sambungan panel stabilisator horizontal dan elevator di ekor pesawat sedikit melengkung ke atas sehingga membuat aliran udara tak merata.
Ahmad menyatakan permasalahan seperti ini menjadi ajang bagi siswa untuk menunjukkan kemampuan teknis dan kreativitas dalam memecahkan masalah. Maklum saja, dalam teknologi pesawat yang bekerja pada kecepatan tinggi, kesalahan sedikit saja bisa mengakibatkan kecelakaan penerbangan.
Untuk mengatasi masalah melengkungnya sambungan di ekor pesawat, para siswa tengah mendiskusikan opsi untuk mengikis bagian yang menonjol atau menebalkan permukaan di sekitar tonjolan hingga rata dengan seluruh bidang panel.
Oktober lalu, perakitan pesawat memasuki tahap kedua, yaitu menyatukan komponen pesawat. Pekerjaan krusialnya adalah memasang mesin J3300 enam silinder ke badan pesawat. Mesin 4 tak ini memiliki banyak komponen penunjang yang juga harus diletakkan di dalam ruang mesin. Nantinya, mesin ini disambungkan ke baling-baling kayu penggerak pesawat.
Modifikasi besar juga dilakukan pada tahap ini. Perubahan mendasar terjadi pada sayap karena rancangan yang diberikan pabrik memiliki kelemahan berupa celah pada sambungan sirip sayap. Ini dapat menyebabkan terjadinya hambatan udara.
Siswa SMK 29 menyiasati celah ini dengan menambalnya memakai bilah komposit tipis tanpa harus mengorbankan sistem gerak sirip tersebut. Perubahan itu justru meningkatkan kecepatan maksimal pesawat hingga 10 knot dari kecepatan semula 120 knot.
Modifikasi lain dilakukan dengan memperbaiki aerodinamis perut pesawat, memperbaiki sistem ventilasi, dan memindahkan posisi lengan pengendali pada kokpit.
Sejak awal November ini, siswa memasuki tahap ketiga berupa penghalusan seluruh bagian pesawat. Pekerjaan ini melibatkan pengaturan halus pada sistem kabel dan mekanika panel penggerak.
Badan pesawat juga diperiksa ulang dan dihaluskan sebelum dicat. Pemasangan panel pengendali pesawat dilakukan pada tahap ini. Panel elektronik kompleks ini berfungsi sebagai pemantau kondisi penerbangan.
Tahap terakhir berupa pemeriksaan menyeluruh dilakukan pada Desember. Sekolah menargetkan Swayasa bisa melakukan penerbangan percobaan pada pertengahan Desember di Pangkalan Udara Pondok Cabe.
Selain dibimbing oleh guru pendamping, para siswa dibantu tenaga ahli dari Federasi Aero Sport Indonesia selama mengerjakan pesawat. Kehadiran pembimbing ini sangat penting untuk menjaga kualitas pesawat, sekaligus membantu pengurusan surat izin terbang.
Jika penerbangan percobaan berlangsung mulus, Swayasa akan guru yang telah memiliki sertifikat sebagai penerbang. Para siswa juga dapat menerbangkan pesawat asalkan telah mengantongi sertifikat khusus ini.

Perombakan Tingkatkan Aerodinamika Swayasa
Dalam membuat Swayasa, Romi Agasty dan kawan-kawan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 29 Jakarta tak sekadar merakit pesawat. Mereka melakukan sejumlah modifikasi pada pesawat rakitan tersebut.
Jabiru Aircraft, perusahaan Australia pembuat pesawat terbang J430, memang memberi keleluasaan bagi pelanggan memodifikasi pesawat tersebut. Para siswa memanfaatkan kebebasan ini untuk berkreasi, termasuk melakukan lima perubahan pada tubuh pesawat.
Modifikasi lumrah dilakukan pada pesawat eksperimen seperti Jabiru J430. Kegiatan ini bertujuan mengoptimalkan fungsi terbang pesawat dan meningkatkan kenyamanan pengendara.
Swayasa yang sudah dirombak ini diperkirakan bisa melaju hingga 130 knot. Kecepatan ini lebih tinggi daripada angka yang ditetapkan pabrik 120 knot. Selain itu, kemampuan climbing pesawat meningkat drastis dari semula 800 feet per menit menjadi 1.200 feet per menit.
Perbaikan aerodinamis pesawat menjadi penunjang utama perbaikan fungsi ini.
Modifikasi pada Swayasa:
1. Penambahan bilah penutup celah antara sirip sayap dan sayap utama. Dua bilah komposit setebal 2 milimeter direkatkan pada tiap panel untuk menutup aliran udara ke celah perbatasan. Tambahan bilah ini tak mengganggu pergerakan sirip yang berfungsi mengendalikan daya angkat pesawat sehingga butuh panjang lintasan lebih kecil.
2. Memperkecil jarak elevator dan stabilisator horizontal pada bagian ekor pesawat. Celah yang terlalu lebar tak terlalu dibutuhkan karena pemuaian material komposit tak terlalu ekstrem. Hambatan udara berkurang oleh modifikasi ini.
3. Penambahan lapisan dempul untuk memuluskan penutup pengendali pesawat yang terletak di ekor pesawat. Penutup yang mulus memastikan berkurangnya hambatan udara sehingga menambah aerodinamis.
4. Penutupan cekungan pada perut pesawat menggunakan material komposit ditambah lapisan dempul agar permukaan menjadi mulus.
5. Corong ventilasi udara pada bagian depan pesawat dicopot agar mengurangi hambatan udara. Saluran tetap mengalirkan udara melalui lubang kecil yang dibuat di samping kokpit.
Spesifikasi Swayasa (Jabiru J430)
Mesin: J3300, 4 tak, 6 silinder
Kapasitas bahan bakar: 140 liter
Waktu jelajah: mencapai 7 jam penerbangan
Lintasan lepas landas: 500 meter (hasil modifikasi)
Bobot: 250 kilogram
Kecepatan jelajah: 130 knot (hasil modifikasi)
Climbing: 1.200 feet per menit (hasil modifikasi)
Siap Terbang, Sulit Lepas Landas
Kendala teknis merakit Swayasa atau Jabiru J430 mungkin bisa diatasi bersama oleh para siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 29 Jakarta. Namun ada masalah lain yang bakal menghalangi pesawat itu mengudara. Izin terbang dan birokrasinya adalah urusan yang sulit dan lama.
Tenaga ahli dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), Sugeng Sukarsono, menyatakan, mendapatkan surat izin terbang dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan bukan perkara mudah. Pengalamannya menekuni hobi dirgantara menunjukkan permasalahan utama birokrasi terjadi akibat ketidakjelasan prosedur dan dokumen perizinan. Meski dokumen telah diperoleh, perlu waktu satu-dua tahun agar pesawat bisa lepas landas.
“Bikin surat lebih lama daripada bikin pesawat,” ujar Sugeng sambil terkekeh.
Tak ayal lagi, Swayasa dikhawatirkan gagal terbang. Padahal perakitan pesawat ini diperkirakan rampung pada pertengahan Desember 2011, dan diikuti dengan terbang perdana di Pangkalan Udara Pondok Cabe.
Menanggapi kemungkinan gagal terbang ini, Sugeng siap menempuh risiko. Ia percaya pengujian yang dilakukan sekolah dan FASI sudah cukup memastikan kelaikan terbang pesawat tersebut. Bahkan Sugeng akan turut berada di kokpit saat Swayasa meluncur pertama kali.
“Kami akan tetap terbang, biarpun izin belum turun,” kata Sugeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar