Belakangan ini, peminat novel di Indonesia dimanjakan oleh novel bertemakan sejarah. Antara lain, novel tentang sejarah kehidupan kongsi dagang zaman Hindia Belanda, VOC, berjudul Rahasia Meede; Misteri Harta Karun VOC, yang ditulis E.S. Ito. Kisah novel serial Gajah Mada oleh Langit Kresna Hariadi (LKH) misalkan, menyerbu pasar dengan lima jilid serial Gajah Mada sejak 2005 hingga kini. Ada pula kisah Pangeran Dipenogoro ke dalam sebuah novel yang ditulis Remy Saldo.
Karya novel sejarah pertama kali dikenalkan Sir Walter Scott yang menulis novel Waverley yang oleh sebagian besar literatur sebagai novel sejarah pertama di dunia. Walter menganggap sejarah sering terasa palsu sehingga dalam novelnya mengambil sepenuhnya karakter Alasdair Ranaldson MacDonell (1771-1828), seorang prajurit yang hampir tak tercatat dalam sejarah panjang klan Skotlandia, sebagai salah seorang tokoh bernama Fergus Mac-Ivor. Sejak itu, orang menulis tokoh yang nyata, tempat yang benar-benar ada ke dalam novel.
Sukses ini kemudian diadaptasi oleh penulis yang merekonstruksi realitas ke dalam fiksi, seperti Victor Hugo, Alexander Dumas, dan Charles Dickens. Mereka menganggap novel sastra mampu menjadi media rekaman sekaligus rujukan literatur yang patut diperhitungkan dalam upaya penelisikan sejarah umat manusia. Bahkan, sastrawan yang banyak menulis cerita pendek dan novel–tentang kehidupan masyarakat Indonesia dengan setting peristiwa di masa revolusi Pramoedya Ananta Toer (Pram) memerlukan data sejarah sebagai referensi agar cerita di dalam novelnya menjadi cerita yang memiliki makna, dan memberikan pengalaman kepada pembacanya sehingga menimbulkan kesadaran kebangsaan pada mereka.
Tetralogi Bumi Manusia dan novel lainnya yang ditulis di Pulau Buru, merupakan karya gemilang Pram yang bisa dilacak tokoh dan latarnya. Data sejarah, karena itu, bukan sekadar angka mati. Pram memasukkan tokoh yang sarat konflik psikologi ke dalamnya. Ia menginvestigasi jiwa manusia hingga tindakannya terasa wajar dan logis dengan sebisa mungkin setia kepada data. Fakta sejarah, dalam novel semacam ini, bertukar tangkap dengan tafsir.
Dengan mengail semangat dari pesan Gorki bahwa “rakyat harus tahu sejarah”, Pram selalu mewakili pemikiran dan perasaan masyarakat di dalam lingkungan sistem sosial masa revolusi kemerdekaan. Dengan demikian, Pram berusaha memberikan makna terhadap fenomena sejarah, dengan menjadikan novelnya suatu karya yang memaknakan fenomena sejarah tersebut.
Adapun novel sejarah yang mengundang kontroversi adalah novel The Da Vinci Code, karya Dan Brown. Bahkan, Brown mengklaim The Da Vinci Code sebagai novel yang ditulis akurat berdasarkan riset sejarah. Brown menjamin berbagai fakta sejarah seputar Jesus, Mary Magdalena, Opus Dei, The Priori of Sion, yang dipaparkan dalam novelnya adalah 100 persen benar. Atas karyanya ini banyak yang mengecam karena dianggap melecehkan Yesus, Vatikan, juga karya Leonardo Da Vinci. Selama 100 pekan, Da Vinci Code terus menduduki peringkat atas novel terlaris, dan memicu kontroversi hebat.
Sampai 2005, The Da Vinci Code sudah diterbitkan dalam 44 bahasa. Film layar lebarnya pun sedang diputar di bioskop di seluruh dunia, dengan Tom Hanks berperan sebagai Robert Langdon, tokoh jagoan dalam novelnya. Konon pada tahun pertama, novel The Da Vinci Code laku 6,5 juta eksemplar (di Amerika Serikat saja), dan melonjak menjadi lebih dari 10 juta eksemplar di pengujung tahun kedua.
Dari semua novel sejarah yang paling kompleks adalah novel yang ditulis Umberto Eco atau Jorge Luis Borges. Batas antara fakta dan fiksi dalam cerita yang ditulis dua orang ini begitu tipis. Membaca Borges kita harus siap dengan data di belakang cerita. Bagi orang yang tak siap, fiksi dalam cerita Borges bisa dianggap sebagai fakta dan sebaliknya. Karya Umberto Eco, berjudul Baudolino ditulis dengan semangat komikal yang kental. Novel ini mengangkat pahlawan Alessandria, Baudolino, yang memasuki Konstantinopel pada 1204 dan bingung menghadapi kota yang diluluhlantakkan oleh kesatria Perang Salib.
Dia bertemu sejarawan Niketas Coniateas dan menyelamatkan nyawanya. Niketas kagum pada kemampuan berbahasa Baudolino. Baudolino lantas mendongengkan kisah hidupnya kepada Niketas. Niketas sendiri adalah tokoh nyata yang terkenal dengan bukunya berjudul The Sack of Constantinople.
Keterkaitan antara sastra dan sejarah adalah keterkaitan intertekstual di antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang diproduksi pada zaman yang sama dan berbeda. Berbagai novel sejarah yang dibuat sudah semestinya dapat merekam peristiwa sejarah dengan cara kreatif, menggunakan daya imajinasi dan dibangunkan oleh struktur cerita dengan tujuan menimbulkan kesan realitas dalam novel. Meski sastra sejarah oleh beberapa kalangan dianggap sebagai sebuah karya imajiner, tidak lantas kita meragukan kadar kebenaran atau validitas sejarahnya.
Source : Pikiran Rakyat, Suplemen Kampus, Kamis 22 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar